Anak SD itu mengeluh sakit kepala kepada orang tuanya Bukan sehari dua hari. Minggu-minggu dia tidak masuk sekolah. Bukan karena flu. Bukan karena demam. Tapi karena kepala yang aneh tanpa sebab.
Anehnya, sakit kepalanya hanya datang di jam tertentu. Dari bangun tidur sampai jam sembilan pagi. Sesudah itu hilang.
Lebih aneh lagi: hanya datang Senin sampai Kamis. Hari Jumat? Tidak. Sabtu? Sehat. Minggu? Segar bugar.
Kalau ini penyakit medis, dokter pasti sudah lama menemukan jawabannya. Tapi dokter pun geleng-geleng kepala.
Orang tuanya menghampiri saya. Dengan hipnoterapi. Lebih tepatnya dengan Resource Therapy. Modalitas terapi yang mirip hipnosis, tapi langsung ke "part" yang bermasalah.
Dan terkuaklah biang keroknya itu.
Sakit kepala itu ternyata punya aspirasi. Ia seperti protes. Diam-diam ia “mewakili” perasaan anak ini yang kesal dengan penambahan jam pelajaran di sekolah. Jam mainnya berkurang. Jam belajarnya bertambah. Ia tidak setuju. Maka tubuhnya membangun mekanisme perlindungan: sakit kepala.
Agar tidak usah sekolah. Agar bisa istirahat. Agar tidak perlu menanggung rasa kesal itu.
Sakit kepala itu bukan sekadar gejala. Ia menjadi bahasa tubuh. Menjadi mode pertahanan.
Setelah part yang bermasalah itu saya dekati, saya ajak bicara, saya dengarkan, saya beri jalan keluar, perlahan ia reda. Anak itu tidak lagi perlu sakit kepala untuk menyampaikan ketidaksetujuannya. Ia kini bisa sekolah lagi.
Saya selalu percaya: tubuh itu pandai. Kadang lebih pandai daripada pikiran kita. Ia tahu bagaimana menyelamatkan kita. Meski caranya sering aneh. Meski bentuknya sering sakit.
Dan bukankah begitu juga hidup? Kita sering sakit bukan karena tubuh rusak, tapi karena ada sesuatu yang tak tersampaikan.
Bersamaan tulisan ini, sudah lebih 10 hari orangtuanya mengabarkan sakit kepala hilang, begitu saja, sehat dan kembali sekolah seperti biasa.
Aditya Lesmana
www.hipnoterapiikn.com